Nov 30, 2009

MENYELUSURI SUNNAH RASULULLAH DALAM IBADAH KORBAN

Audio Kuliah (mp3) - [Download], Video Kuliah (WMV) - [Download]

Ulama ahli sunnah wal jamaah telah menetapkan satu kaedah asas dalam menentukan sama ada amal ibadat kita diterima atau ditolak oleh Allah S.W.T... Adalah penting bagi kita untuk benar-benar memahami kaedah asas ini agar kita tidak melakukan amalan yang sia-sia kerana ia tidak diterima Allah. Kaedah yang dimaksudkan adalah setiap amal ibadat yang tersebut (yang hendak dilaksanakan) hendaklah dikerjakan semata-mata ikhlas kerana Allah dan mengikuti (ittiba’) sunnah Nabi s.a.w.

Sekiranya kedua-dua syarat yang telah digariskan di atas atau salah satu darinya tidak dipenuhi, maka amal ibadat tersebut dianggap terbatal. Firman Allah S.W.T:

"Dialah yang telah mentakdirkan adanya mati dan hidup (kamu) untuk menguji dan menzahirkan keadaan kamu, siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Kuasa (membalas amal kamu) lagi Maha Pengampun (bagi orang-orang yang bertaubat)." (Surah al-Mulk, 2)

Menurut Fudhail bin ‘Iyaadh r.h:

"Maksud 'amalan yang lebih baik' ialah yang paling ikhlas dan paling benar. Mereka bertanya: Wahai Ali (nama gelaran untuk Fudhail bin ‘Iyaadh)! Apakah yang dimaksudkan dengan paling benar dan yang paling ikhlas? Jawab Fudhail bin ‘Iyaadh: Sesungguhnya amal itu apabila dikerjakan dengan ikhlas tetapi tidak benar nescaya tidak akan diterima dan apabila amal itu dikerjakan dengan benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima sehingga amal itu dikerjakan dengan ikhlas dan benar. Yang dimaksudkan dengan ikhlas ialah amal itu kerana Allah dan yang dimaksudkan dengan benar ialah amal itu di atas dasar sunnah.” (Dinukil daripada kitab al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama), karya Abdul Hakim bin Amir Abdat, Darul Qalam, Jakarta 2002, jilid 2, ms. 258)

Tambahan pula Rasulullah s.a.w. merupakan contoh teladan yang terbaik kepada seluruh umat Islam. Hal ini adalah sebagaimana firman Allah S.W.T:

Demi sesungguhnya, adalah bagi kamu pada diri Rasulullah itu contoh ikutan yang baik, iaitu bagi orang yang sentiasa mengharapkan (keredhaan) Allah dan (balasan baik) hari akhirat, serta ia pula menyebut dan mengingati Allah banyak-banyak (dalam masa susah dan senang). (al-Ahzaab, 21)

Begitu juga menurut suatu hadis riwayat Muslim, maksudnya:

Batas-batas Pergaulan Lelaki dan Perempuan

Pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram, melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan, perjuangan, atau lain-lain yang memerlukan banyak tenaga, baik dari laki-laki maupun perempuan.

Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas diantara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar'iyah yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan pelanggaran, dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya Barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah bekerja sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa, dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan
oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:

1) Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat, tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah berfirman:

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya ..."(an-Nur: 30-31)

2) Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang dituntunkan syara', yang menutup seluruh tubuh selain muka dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:
"... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya ..." (an-Nur: 31 )

Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang biasa tampak ialah muka dan tangan.

Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku sopan:

"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab:59)

Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya, sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang yang melihatnya untuk menghormatinya.

3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal, terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:

a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:

"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)

b. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman Allah:

"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31)

Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah dengan firman-Nya:

"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan ..." (al-Qashash: 25)

c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok,seperti yang disebut dalam hadits:

"(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan(kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)

Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun jahiliah modern

4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.

5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa disertai mahram. Banyak hadits sahih yang melarang hal ini seraya mengatakan, 'Karena yang ketiga adalah setan.'

Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri. Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:

"Jangan kamu masuk ke tempat wanita." Mereka (sahabat)bertanya, "Bagaimana dengan ipar wanita." Beliau menjawab, "Ipar wanita itu membahayakan." (HR Bukhari)

Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.

6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak.

Jawapan di atas ini melingkupi pergaulan dalam apa situasi sekalipun. Tidak kira selepas bertunang mahupun sebelum bertunang. Di dalam fatwanya yang lain, Dr Yusuf Qardawi menjawab persoalan mengenai batas-batas pergaulan bagi mereka yang telah bertunang,

“...Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Ijab dan kabul adalah lafal-lafal (ucapan-ucapan) tertentu yang sudah dikenal dalam adat dan syara'.

Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi sipeminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya.”

Wajibkah Jumaat Pada Hari Raya?

Soalan: “Apakah benar jika hari raya berlaku pada Hari Jumaat maka sesiapa yang menunaikan Solat Hariraya tidak wajib lagi untuk dia menunaikan Solat Jumaat?

Para fuqaha (sarjana Fekah) berbeza pendapat dalam hal ini. Di kalangan ulama, terutama dalam Mazhab Hanbali menyatakan tidak wajib Jumaat untuk makmum yang sudah menghadiri solat Hariraya, kecuali imam. Ini berdasarkan hadis Nabi s.a.w ketika hariraya berlaku pada Hari Jumaat :

قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

“Telah berkumpul pada hari kamu ini dua hariraya, sesiapa yang mahu memadailah baginya solat hariraya bagi solat Jumaat (tidak wajib Jumaat), adapun kami (Nabi s.a.w) akan menunaikan Jumaat” (Riwayat Abu Daud, Ahmad, Ibn Majah. Dinilai sahih oleh al-Hakim dan dipersetujui oleh al-Zahabi. Al-Albani juga menyatakan sahih).

Berdasarkan hadis di atas, maka seseorang diberi pilihan sama ada hendak menunaikan solat Jumaat setelah menunaikan Solat Hariraya, atau berpada dengan solat berkenaan. Maka dengan itu dia wajib menunaikan Solat Zohor. Terdapat pendapat di kalangan ulama bahawa Zohor juga tidak wajib disebabkan Nabi s.a.w tidak pun menyebut hal ini dan Hari Jumaat yang diwajibkan adalah Solat Jumaat, maka apabila ia digugurkan tidak perlu mengganti apa-apa. Antara yang berpendapat tidak wajib diganti dengan Zohor ialah al-Imam Syed Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah (1/267, Beirut: Dar al-Fikr).

Apapun, hadis di atas dan beberapa riwayat yang lain, termasuk amalan pada zaman Umar, Abdullah ibn al-Zubair dan Ibn ‘Abbas menyebut perbuatan meninggalkan Jumaat pada hariraya itu أصابت السنة “Betul dari segi sunnah” (lihat: Ibn Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra 2/366, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).

Cumanya, mereka kebanyakannya berpendapat wajib Zohor. Adapun imam hendaklah menunaikan Jumaat untuk mereka yang hendak menunaikan Jumaat, atau tidak menunaikan Solat Hariraya, maka wajib dia menunaikan Jumaat.

Dengan diakui ada perbezaan pendapat di kalangan sarjana hukum, namun saya cenderung kepada tidak wajib Jumaat bagi makmum yang sudah menunaikan solat Hariraya berdasarkan hadis di atas dan beberapa riwayat yang lain, juga sifat Islam itu sendiri yang meringankan apabila ada ruang kelonggaran. Apatahlagi, maksud perhimpunan kaum muslimin telah tertunai pada hari tersebut, maka perhimpunan solat hariraya sudah dapat memenuhi maksud perhimpunan solat Jumaat.